JavaMagazine (Malaysia) - Rencana Malaysia mematenkan tari Tor-tor, justru mendapat dukungan dari komunitas Mandailing di negeri Jiran itu. Mereka pun meminta Indonesia memahaminya, agar negara tetangga yang sebelumnya mengklaim angklung itu mengakui tarian tersebut.
Setelah Angklung, Reog Ponorogo, Batik, Tari Pendet, Wayang Kulit dan belasan kebudayaan Indonesia lainnya sempat diklaim sebagai milik Malaysia, kini giliran Tor-tor. Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Dr Rais Yatim berniat mematenkan seni asal Mandailing itu.
Padahal, Tor-tor adalah tarian asli masyarakat Mandailing, Sumatera Utara. Tarian itu menandai perkembangan kebudayaan leluhur di kawasan itu. Saat itu, masyarakat setempat mengekspresikan sikap religiusitas melalui tarian.
Karenanya, tarian Tor-tor dirancang sedemikian rupa, sehingga membentuk harmoni antara gerakan dan musik atau disebut mangondangi yang dimainkan dengan alat-alat tradisional, antara lain gendang, suling, terompet batak, dan lainnya.
Tari Tor-tor dipagelarkan terkait ritual memanggil roh "masuk" ke patung-patung batu yang menjadi simbol leluhur. Lalu patung tersebut bergerak seperti menari. Namun gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki atau jinjit-jinjit, dan gerakan tangan.
Jenis tari Tor-tor pun berbeda-beda. Ada yang dinamakan Tor-tor Pangurason atau tari pembersihan ; sipitu cawan atau disebuit Tari Tujuh Cawan yang digelar saat pengukuhan seorang Raja; Tor-tor Tunggal Panaluan merupakan budaya ritual. Biasanya digelar, apabila suatu desa dilanda musibah.
Permintaan
Karena merasa tarian itu adalah budaya masyarakat Mandailing, Setia Usaha Kementerian Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Nor Azli tidak suka bila disebut mengkalaim Tor-tor sebagai Kebudayaan Asli Malaysia.
Ia menyebut, niat mematenkannya karena pemerintah Malaysia mendengarkan usulan dari komunitas Mandailing di Malaysia.
"Itu permintaan Persatuan Mandailing di Malaysia. Pak Menteri katakan, baiklah kita terima dan lakukan kajian. Ini baru become, bukan sudah." tukas Nor Azli di Kualalumpur.
Komunitas Mandailing di Malaysia meminta saudara mereka di Indonesia memahami usulannya. Alasannya, agar tari Tor-tor bisa lestari dan mendapat pengakuan negara, tak hanya dipentaskan di rumah.
"Kami sudah 200 tahun disini. Sebelum wujud Malaysia dan Indonesia, kami sudah ada disini. Kenapa tak boleh Kebudayaan Mandailing ada," tegas Tokoh Mandailing di Malaysia, Ramli Abdul Karim Hasibuan.
Diungkapkan, ia bersama 500 ribu warga komunitas Mandailing dari berbagai marga di Malaysia, antara lain Nasution dan Siregar ingin budaya Mandailing diakui Pemerintahnya.
"Ini sudah hampir 70 tahun kami memperjuangkannya. Kemarin 14 Juni ada acara Perhimpunan Anak Mandailing, dan kami minta pada Menteri Penerangan supaya Kebudayaan Mandailing diangkat sama tingginya dengan budaya China dan India," tuturnya.
"Juga dengan budaya Minang dan Jawa. Saat itu disebutkan akan dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam akta warisan negara, sebagai pelestarian suatu budaya," jelas Ramli.
Ramli menegaskan, Tari Tor-tor yang diusulkan sebagai warisan kebudayaan bangsa, bukan berarti diklaim Malaysia, justru dilestarikan, dipelihara dan dipertahankan supaya tak hilang.
"Selepas pelestarian budaya, akan diberi peruntukan budget keuangan bagi kebudayaan ini. Jadi tak ada niat Malaysia mengklaim. Kalau disebut itu milik Mandailing," jelas Ramli.
Masyarakat Mandailing selama 200 tahun berkiprah di Malaysia. Mereka tersebar mulai wilayah Perak, Selangor, Negeri Sembilan hingga Kuala Lumpur. Keturunan Mandailing dari marga Nasution dan Siregar bahkan banyak yang menjadi pejabat di Malaysia.
"Kami ingin budaya Mandailing juga diangkat disini. Kami berpesan pada saudara kami di Mandailing, kami juga warga Mandailing. Kami ingin kebudayaan kami (Mandailing) diakui di Malaysia. Tak ada klaim," tandasnya.
Ramli mengibaratkan seni Barongsai di era Gus Dur diperbolehkan dipertunjukkan di Indonesia. Tapi barongsai tidak otomatis diklaim milik Indonesia, jadi kebudayaan saja. (tribun).
0 komentar:
Posting Komentar