JavaMagazine (Yogya) - Walau pemerintah telah mengeluarkan UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan rupanya tidak menyelesaikan masalah untuk para penganut Agama Leluhur dan Kepercayaan. Mereka kerap terbentur masalah administrasi kependudukan dan sulit untuk mendapatkan KTP.
Berbagai diskriminasi timbul ketika kolom agama tidak terisi dan hanya bertuliskan tanda strip dalam KTP.
"Jika di KTP itu bertuliskan tanda strip, maka akan ada pertanyaan dan diskriminasi. Bisa dibilang banyak orang menilai mereka tidak punya agama atau sering disebut atheis. Padahal mereka punya kepercayaan," terang Nia Syarifudin dari Aliansi Nasional Bhineka Tungalika.
Hal tersebut dikatakan Nia, dalam diskusi Komnas Perempuan dengan Tokoh Perempuan Adat Penganut Agama Leluhur dan Kepercayaan di Griya Patria Jl Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (9/11).
Nia mengatakan bahwa bentuk diskriminasi tersebut terjadi dalam berbagai hal. Mulai dari kesulitan untuk mendapatkan KTP, pembuatan surat Nikah, akte kelahiran anak hingga hak untuk mendapatkan bantuan ekonomi dan pelayanan kesehatan.
Tenri Bibi, salah satu tokoh perempuan yang juga sebagai penganut Agama leluhur Tolotang mengatakan bahwa diskriminasi lewat KTP dampaknya begitu luas. Dijelaskan Tentri bahwa identitas dalam KTP mengenai agama menjadi sebuah masalah. Pemerintah sendiri menyarankan untuk penganut Tolotang tergabung dalam organisasi.
"Negara menyarankan untuk mengikuti organisasi," jelasnya.
Sebagai contoh diskriminasi yang dialami dari dampak KTP tersebut diantaranya, ketika seorang anak masuk sekolah. Saat ditanyakan mengenai akte kelahiran, maka muncul berbagai pernyataan bahwa tersebut anak yang lahir di luar nikah. Padahal kedua orang tuanya menikah secara sah dengan kepercayaan adat.
"Ketika masuk sekolah, maka akan timbul stigma, dengan pernyataan anak lahir di luar nikah atau haram," jelas Tenri.
Tidak berbeda dengan Seni, masyarakat dari Watutelu Dayak Maayam, Lombok, Kalimantan Tengah mengatakan hal yang sama. Ada warga dari Adat Watutelu mencoba mencalonkan menjadi Camat atau Lurah, namun lantaran kepercayaan mereka tidak diakui, mereka dianggap kumuh dan kotor sehingga tersisihkan.
"Hak-hak masyarakat di sana kurang, misalnya ingin mencalonkan camat atau lurah, mereka disisihkan dan dinilai kotor, kumuh. Kesempatan untuk pemilihan kepala daerah kurang," ucap Seni.
Dengan segala keterbatasan, Masyarakat Adat Watutelu ternyata cukup kreatif. Mereka telah membuat lembaga pranata adat dimana isinya koperasi, perpustakaan dan eko wisata yang intinya agar diketahui bahwa mereka juga berpendidikan.
"Kami mempunyai lembaga pranata adat, kami di sana telah membuka koperasi dan perpustakaan dan eko wisata supaya dianggap berpendidikan dan intinya dianggap oleh pemerintah di sana," kata Seni.
0 komentar:
Posting Komentar